Jurnalis, pegiat komunitas warga, dan pengamat sosial perkotaan

Dapur MBG: di Balik Panci Besar, Ada Sebutir Harapan

Sabtu, 12 Juli 2025 19:15 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Iklan

Kapolresta menjadi saksi bahwa menjaga perut anak-anak tetap kenyang adalah bagian dari menjaga masa depan.

Kombes Pol Andi Muhammad Indra Waspada Amirullah, Kapolresta Tangerang.
Di sebuah pagi yang biasa, langit di Kampung Lamporan, Desa Dukuh, masih berselimut mendung tipis. Angin bergerak malas. Jalanan lengang, hanya sesekali motor melintas membawa pekerja pabrik.

Namun di balik dinding PT. Boga Rasa Tama, dapur Makan Bergizi Gratis (MBG) justru tak pernah benar-benar tidur. Ada panci-panci besar yang mendidih sejak dini hari, ada aroma nasi yang pelan-pelan memenuhi ruangan. Ada sayur yang diiris dengan telaten, lauk yang dimasak dalam jumlah ribuan, dan suara langkah kaki pekerja yang tak pernah tergesa.

Di dapur ini, waktu seolah bergerak lambat. Seperti ada kesepakatan tak tertulis: semua harus dilakukan dengan hati-hati. Sebab yang sedang disiapkan bukan sekadar nasi kotak—tetapi bekal bagi anak-anak yang akan memulai pagi mereka di sekolah.

Hari itu, ada yang berbeda. Seorang perwira polisi datang. Namanya panjang: Kombes Pol Andi Muhammad Indra Waspada Amirullah, Kapolresta Tangerang. Ia datang tidak dengan sirine meraung atau rombongan besar yang penuh kamera. Ia datang, berhenti sejenak di depan pintu dapur, lalu pelan-pelan memakai masker, penutup kepala, dan sarung tangan plastik.

Di antara panci besar dan meja stainless steel, ia berjalan perlahan. Kadang menunduk memperhatikan proses pengemasan nasi, kadang bertanya kepada pekerja tentang prosedur. Suaranya tenang, sesekali terdengar tegas.

"Kami cek dapur MBG untuk memastikan proses produksi berjalan dengan aman dan higienis, serta kualitasnya terjaga," ujarnya.

Itu mungkin terdengar seperti kalimat formal. Tapi siapa pun yang menyaksikan, bisa melihat ada kesungguhan di sana. Karena ia tahu: kalau satu saja prosedur diabaikan, nasi bisa cepat basi. Kalau distribusi terhambat, ada anak-anak yang belajar dalam keadaan lapar.

Para pekerja dapur tak banyak yang menoleh ke arah tamu penting itu. Sebab tangan mereka tak boleh berhenti. Ada wortel yang harus diiris seragam, ada ayam yang harus matang merata. Mereka bekerja di bawah prinsip 5R: ringkas, resik, rajin, rapi, rawat.

Di ruangan itu, semua terasa hening. Tak ada suara keras. Tak ada musik. Hanya desis uap nasi panas, suara tutup panci yang diketuk, dan derak plastik kotak makan yang ditumpuk tinggi.

Kadang, di tempat sesunyi ini, kita diingatkan: kebaikan tak selalu lahir dari rapat besar atau pidato panjang. Ia lahir dari tangan-tangan yang bekerja dalam diam, dari rutinitas yang tak pernah diberitakan, dari kesabaran yang tidak punya nama di koran.

Indra Waspada berjalan ke sudut lain dapur. Ia melihat bagaimana prosedur diterapkan: tak semua orang boleh sembarangan masuk ke ruang masak. Setiap langkah diawasi, setiap kesalahan kecil dicatat dan diperbaiki.

"Prosedurnya juga bagus, yaitu orang yang akan masuk ke dapur harus menggunakan alat pelindung diri," katanya.

Lalu ia menambahkan, "Kita mendorong hal-hal yang berpotensi menjadi kendala segera diselesaikan." Kalimat yang sederhana, tapi membawa pesan penting: bahwa dapur ini tak boleh berhenti. Bahwa distribusi nasi kotak ini lebih penting dari yang mungkin kita kira.

Pada panci besar yang masih mengepulkan uap, panci itu menampung bukan hanya nasi, tetapi juga harapan. Anak-anak yang kelak menerima nasi kotak ini, barangkali tak pernah tahu siapa yang memasak, siapa yang memeriksa, siapa yang memastikan nasi tetap hangat hingga tiba di sekolah.

Tapi di antara nasi dan lauk, ada sesuatu yang tak tertulis: rasa peduli. Rasa bahwa mereka tidak sendirian.

Dan di balik itu semua, ada dapur yang sunyi, ada petugas yang diam-diam menyeka keringat, ada Kapolresta yang pagi itu tak hanya menjadi penegak hukum, tapi juga saksi: bahwa menjaga perut anak-anak tetap kenyang adalah bagian dari menjaga masa depan.

Kita sering lupa, nasi kotak yang sederhana itu bukan lahir begitu saja. Ia lahir dari prosedur panjang, dari tangan-tangan yang tak dikenal, dari doa-doa yang tak pernah diucapkan keras-keras.

Dan di Kampung Lamporan, Tangerang, di sebuah dapur yang tak pernah masuk siaran langsung, sejarah kecil itu sedang ditulis setiap pagi.

Sejarah tentang bagaimana, kadang, cinta kepada anak-anak kita tak berbentuk besar—tetapi hanya berbentuk nasi putih, sayur rebus, dan lauk yang dimasak dengan hormat.

-
Ditulis untuk Indonesiana.id

Bagikan Artikel Ini
img-content
Mahar Prastowo

Penulis Indonesiana

5 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler